Dalam podcast bersama Gita Wirjawan, dia bercerita tentang susah payah, bahagia perjalanannya hingga mendapatkan gelar doktor dan menjadi Asisten Profesor Universitas Nottingham.
Ada bebarap benang merah dalam pembahasan dalam podcast tersebut, yaitu ketika mendapati kesempatan yang kurang memuaskan ketika muda, maka kita harus lebih giat untuk bangkit dan menggali potensi diri. Berusahalah survive dalam kondisi apa pun dan tetap terapkan integritas tinggi dan jadilah inisiator di tempat kamu berpijak.
Berikut adalah beberapa hal yang harus dipahami dari perbincangan Bagus Muljadi dalam Video Kanal Youtube nya yang bisa membuat obat kedunguan :
1. Jangan Jadikan Medsos sebagai Sumber satu - satunya yang akurat/ rujukan
Bagus Muljadi mengatakan, sepertiga informasi masyarakat dapatkan melalui media sosial. Medsos menjadi rujukan untuk menentukan pilihan.
“Sepertiga dari masyarakat mengaku, informasi yang mereka dapatkan melalui medsos, menjadi rujukan dalam menentukan pilihan, bahkan mengubah pilihannya,” ujarnya.
Namun, ada sebuah penelitian mengatakan bahwa medsos bisa menyebar berita kebohongan, enam kali lebih cepat daripada berita fakta. Sensasi bagai candu didorong oleh algoritma yang diciptakan untuk memaksimalkan keuntungan.
Dari perkataan di atas kita buktikan secara realistis bahwa data lapangan mengatakan , anak - muda sudah termakan trend yang ada di sosial media , mulai dari Style , sosial, dan cara belajar yang sudah bim salabim copas dan cuma lihat di tutorial sosmed saja .
Buku sudah diduakan, sehingga literatur indonesia tren nya selalu menurun .
Grafik 10 negara tingkat leterasi ( sumber Good stats ) |
Sementara UNESCO menyebutkan minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001persen. Artinya dari 1.000 orang Indonesia hanya 1 orang yang gemar membaca.
2. Hati - Hati Kebohongan yang di framing sebagai Kebenaran
Kebohongan yang menyamar sebagai kebenaran. Kini menjadi sebuah ajang populer yang merujuk kepada sebuah era di mana fakta objektif memiliki pengaruh yang jauh lebih kecil dalam membentuk opini dan keyakinan publik, dibandingkan emosi dan sensasi.
Ketika model terbaru untuk menarik perhatian adalah lelucon dan ketakutan, berpotensi akan lebih melandasi tindakan kita dibandingkan pengetahuan.
Sahabat, kita tau sosial media bukan hanya berisikan konten edukasi , namun media sosial sebuah platform yang bisa dikatakan bebas untuk membranding kebodohan menjadi kepintaran, kebohongan di framing kebenaran , sehingga tidak sedikit sebuah figur yang membawa sensasi baru dalam argumen dan ideologi nya yang berhasil memecah belah sehingga penikmat medsos akan berkubu kepada mereka yang di anggap benar tanpa melewati analisa dalam argumen yang dia lontarkan .
3. Emosional terhadap Lingkungan Sosial
Bagus Muljadi juga mengatakan dengan tegas anak-anak muda apa bisa merangkai kata-kata untuk menggambarkan emosi.
“Kita patut melihat, apakah di sekeliling kita, hikmah lebih bising daripada lelucon. Apakah anak-anak muda kita masih mampu berpakaian santun atau hanya bisa bercanda. Apakah mereka bisa merangkai kata-kata yang tepat untuk menggambarkan emosi atau hanya bersandar pada emoji,” ujarnya.
Sahabat , kita bisa tengok dengan adanya medsos yang semakin berkembang, ekspresi anak muda bahkan yang tua kita bisa memprediksi apa maksud nya dengan emoji chat dengan realita , sebuah emosional, empati dan keprihatinan sulit kita tebak, sehingga dinamika sosial terancam dengan adanya sosmed , misal minta maaf hanya cukup pakek emoji , memberi semangat pakai emoji , senyum emoji di kira bangga padahal benci.
Tidak sedikit sebuah hal yang harusnya di selesaikan secar ofline akan tetapi orang - orang berangangapan cukup melalui medsos dan ending nya akan tetap menjadi kesalah pahaman karna multi tafsir .
Semoga kita tetap bijak berperan dalam media sosial .
(Ez/naratawa)
Baca Juga di Google News