![]() |
Foto Penulis : Emha Mutawakkil, Mahasantri Ma'had Aly Situbondo Versi Ai ghibli style |
Naratawa.id - Indonesia merupakan negara dengan popolasi umat islam terbanyak di dunia. Karenanya, di negeri ini sangat banyak ditemukan kegiatan kegamaan Islam, baik yang berupa sosial atau ritual. Dan diantara dari banyaknya kegiatan keagamaan diatas, yang paling populer adalah shalawatan.
Di negeri ini mungkin sudah ada ribuan majlis shalawat. Di negeri ini, kita sudah terbiasa melihat ribuan orang berkumpul di satu lapangan besar dengan menggunakan sound system yang menggelegar dalam rangka shalawatan. Namun, setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan agar aktivitas ini tidak menjadi aktivitas ritual semata tanpa adanya manfaat dalam kehidupan sosial, agar tidak menjadi sekedar perayaan tanpa nilai-nilai yang harus dipertahankan.
Yang pertama, buku-buku maulid yang dibaca di banyak majlis shalawat itu harus juga dipahami. Tentunya dengan memahami kecenderungan penulisnya ketika menulis buku itu.
Buku yang ditulis dengan bahasa sastrawan harus dipahami uraiannya dengan memahami kecenderungan sastrawan yang sering menggunakan kata-kata yang bersifat kiasan, metaforis dan hiperbolis.
Tidak membedakan antara bahasa sastra dan sejarah akan menyebabkan kerancuan dalam mengenal Nabi Muhammad SAW. Misalnya perkataan Syekh Abdurrahman Ad-diba'i dalam bukunya Maulid Diba’ bahwa “Dia (Siti Aminah) melahirkan Sang Kekasih (Nabi Muhammad) dalam keadaan sujud, bersyukur dan bertahmid” harus dipahami dengan bahasa sastrawan yang terbiasa menggunakan metafor agar tidak bertentangan dengan informasi yang dikabarkan para sejarawan. Karena dalam bahasa sejarah, tentu saja Nabi tidak dilahirkan dalam keadaan bersujud, bersyukur dan bertahmid secara hakiki. Oleh karena itu membaca sejarah Nabi SAW. juga sangat penting bagi kita yang ingin mengenalnya.
Sangat sulit -kalau enggan berkata tidak mungkin- bisa mengenal Nabi hanya dengan membaca buku-buku maulid yang dibaca dalam majlis shalawat tanpa membaca buku-buku sejarah.
Selain itu “dengan mempelajari sejarah Nabi Muhammad SAW. seseorang akan menemukan sesuatu yang bisa membantunya dalam memahami Kitab Allah (Al-Qur'an) dan merasakan ruh dan maqashidnya”, begitu tutur Syekh Sa'id Ramadhan Al-buthi dalam bukunya Fiqh as-Sirah.
Yang kedua, apa yang sudah dipahami dari pembacaan terhadap buku-buku maulid dan sejarah Nabi itu harus juga diteladani atas nama cinta.
Menurut Thahir Bin Asyur, Pakar tafsir kenamaan Timur Tengah “cinta adalah adalah respons dari hati yang timbul ketika merasakan suatu keindahan. Baik yang bersifat fisik, perbuatan atau keyakinan bahwa yang dicintainya bisa mengantarkannya pada kebaikan.” Cinta menuntut untuk meneladani siapa yang dicintainya. Mecintai Rasulullah SAW. berarti meneladani apa yang beliau lakukan. Dan Hal ini bertingkat-tingkat sesuai kadar cinta yang ada dalam hatinya.
Ada yang meneladani beliau dalam amalan wajib saja, selanjutnya meneladani beliau dalan amalan sunnah muakkadah (yang sangat dianjurkan), selanjutnya sunnah-sunnah yang lain walau tidak muakkadah, kemudian meneladani beliau bahkan dalam adat istiadat dan tata cara kehidupan keseharian beliau walau bukan ajaran agama.
Mengikuti dalam model dan warna alas kaki bukanlah bagian dari ajaran agama Tetapi apabila itu dilakukan atas nama cinta dan keteladanan kepada beliau, Allah tidak akan membiarkan seorang yang cinta kepada Nabi-Nya bertepuk sebelah tangan.
Walhasil, Dua hal diatas perlu dilakukan agar majlis-majlis shalawat yang biasa kita adakan itu tetap memiliki esensi dan tidak lepas dari tujuan untuk apa ia diadakan.
Berapa banyak dari kita yang mungkin sudah hafal banyak sekali lirik-lirik syair tentang Rasulullah tapi masih tidak memahami maknanya atau bahkan tidak berusaha memahaminya.
Bagi seorang yang seperti ini, syair-syair itu tak ubahnya seperti mantra yang dihafal tapi tidak diketahui sama sekalai maknanya.
Kalau 2 hal diatas tidak lakukan, maka kita harus membenarkan apa yang dikatakan oleh Farag Fouda bahwa “kita (umat Islam) itu terlalu sibuk dengan sesuatu yang bersifat kulit yang bukan esensi dan mengabaikan sesuatu yang bersifat fundamental.” Wallahu a'lam.
Oleh: Emha Mutawakkil, Mahasantri Ma'had Aly Situbondo.
Editor : (Ez. Naratawa)
Baca Juga di Google News